Rabu, 25 Maret 2009

KEBODOHAN DAN KEMISKINAN


Empat Dekade Hari Aksara Internasional

Majda El Muhtaj
(Dosen FIS UNIMED & Peminat Kajian HAM)

Literacy, key to good health and well-being (melek aksara, kunci untuk kesehatan dan kehidupan manusia yang baik). Inilah tema besar Peringatan Hari Aksara Internasional (International Literacy Day) tahun ini. Sekalipun ringkas, kalimat itu penuh makna. Buta aksara sangat dekat dengan kebodohan dan kemiskinan. Dalam kondisi itu, perlindungan dan pemenuhan HAM dipastikan sulit dilaksanakan. Pembangunan sebuah bangsa juga bisa dipastikan gagal jika masyarakatnya tidak mampu mengiringi laju pembangunan dengan baik.
Ketidaksinambungan gagasan pembangunan merupakan preseden negara gagal karena ketidakpahaman acapkali dapat ditafsirkan multi dan mengarah pada pemaksaan dan penindasan. Masyarakat internasional berkepentingan kuat untuk mencerdaskan umat manusia sebab dengan itulah dimungkinkan pelrindungan dan pemenuhan HAM dapat direalisasikan.
Tema besar Hari Aksara tahun ini merupakan refleksi tentang masih minornya realitas kebodohan dan kemiskinan. Dengan kemelekan aksara, masyarakat dipastikan dapat memilah dan memilih upaya pencapaian kualitas hidup yang lebih bermartabat. Aksara sangat membantu kita mengenal dan mengisi kehidupan yang lebih baik. Kaum perempuan adalah kelompok rentan pelanggaran HAM yang menempati angka tertinggi kebodohan dan kemiskinan di dunia. Dengan tema tahun ini, kemandirian dan keberdayaan perempuan diharapkan dapat menunjang kualitas hidup mereka. Lebih dari itu, pada gilirannya memberikan iklim kehidupan yang sehat pula bagi generasi selanjutnya.

Kebodohan & Kemiskinan Perempuan
Kebodohan mengakibatkan kemiskinan. Dua bentuk ini berkorelasi positif untuk mendegradasi kemartabatan manusia. Kebodohan seringkali dinyatakan bermula dari ketidakmampuan mengenal aksara. Ketidakmampuan itu akan menjadi lebih sistematis jika kebjakan pendidikan berjalan sangat diskriminatif. Kesan pejoratif terhadap kaum perempuan sebagai pemlik kebodohan dan kemiskinan secara nyata efektif bahkan nyaris sempurna menjadikan mereka sebagai kelompok marjinal yang rentan terhadap pelanggaran HAM.
Kemiskinan perempuan membuat mereka tidak merdeka. Intervensi pada putusan dan kreasi intelektual mereka juga telah menghegomoni otonomisasi dir mereka di tengah kecerdasan kaum laki-laki. Persaingan tidak sehat ini telah berjalan dalam waktu yang panjang. Padahal, sadar atau tidak, suka atau tidak, kaum perempuan, dengan kelebihan potensi biologis mereka sangat nyata menentukan kualitas generasi selanjutnya.
Ketidakadilan sistematis ini harus diretas dengan membangun kesadaran kolektif mengemas sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang peduli terhadap nasib dan masa depan generasi selanjutnya. Pintu masuk itulah, hemat saya, yang dapat menerobos ”tembok peradaban” sebagai produk keangkuhan manusia dewasa, bernama laki-laki. Dari 860 juta orang dewasa di dunia tidak bisa baca-tulis. Ironisnya, dua pertiga dari jumlah itu adalah perempuan. Nasib yang sama juga dirasakan oleh anak-anak perempuan. Mereka adalah jumlah terbesar dari tertutupnya akses terhadap pendidikan. Dipastikan mereka akan menjadi orang dewasa yang bodoh dan miskin.
Realitas ini tidak bisa dibiarkan berkepanjangan. Untuk konteks Indonesia, perkembangan buruk pendidikan bias gender sedemikian mengental. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang efektif berlaku sejak 19 Desember 2000 masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sejatinya, kebijakan pusat dan daerah, melalui Inpres ini, diharapkan melakukan percepatan kebijakan yang memungkinkan bagi keikutsertaan aktif kaum perempuan sebagai stakholder pembangunan.
Sekalipun, memang pendidikan keluarga memberikan dampak yang besar bagi munculnya kesadaran kolektif, namun tidak bisa dipungkiri diseminasi HAM perempuan (women’s human rights) secara meluas dapat membangun kesepahaman kolektif. Oleh karena itu maka, gerakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) harus berpijak pada wawasan gender para pengambil kebijakan itu sendiri. Tanpa jendela berpikir yang paradigmatik terhadap nasib dan masa depan kaum perempuan di Indonesia, dipastikan gender mainstreaming movement akan menuai kegagalan.

Perempuan Juga Manusia
Dalam perspektif hukum HAM internasional, ditegaskan bahwa perempuan juga manusia. Mereka memiliki hak asasi sebagaimana laiknya manusia pada umumnya. Dengan kata lain, memosisikan eksitensi mereka sebagai kelas kedua merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap HAM universal. Diskriminasi dengan dasar ras, agama, jenis kelamin, etnis dan sebagainya tidak bisa dibenarkan. Pasal 2 DUHAM Tahun 1948 menyatakan, Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status ….
Deklarasi Wina Tahun 1993 (Vienna Declaration and Programee of Action) mengafirmasi pernyataan klausul di atas sekaligus menyatakan bahwa HAM perempuan merupakan hak yang melekat dan tak terpisahkan dengan jati diri manusia itu sendiri. Selengkapnya dinyatakan, The human rights of women and of the girl-child are an inalienable, integral and indivisible part of universal human rights. The full and equal participation of women in political, civil, economic, social and cultural life, at the national, regional and international levels, and the eradication of all forms of discrimination on grounds of sex are priority objectives of the international community.
Jika kita melihat delapan Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) maka tampak jelas bahwa perlindungan dan pemenuhan HAM dapat memajukan tatanan kehidupan global, yakni Goal 1: Eradicate extreme poverty and hunger; Goal 2: Achieve universal primary education; Goal 3: Promote gender equality and empower women; Goal 4: Reduce child mortality; Goal 5: Improve maternal health; Goal 6: Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases; Goal 7: Ensure environmental sustainability; Goal 8: Develop a global partnership for development.
Begitupun, laporan MDGs Tahun 2006 lalu kelihatan masih menyisakan problematika yang pelik, yakni marjinalisasi anak-anak dan perempuan dalam berbagai kebijakan negara. Laporan itu menyebutkan, 450 ribu anak-anak meninggal dunia pada tahun 2004 dan dua pertiganya berasal dari enam negara, yakni Indonesia, Cina, Republik Demokratik Kongo, India, Nigeria dan Pakistan. Laporan ini, setidaknya menggambarkan duka kebodohan dan kemiskinan yang semakin akut. Pelayanan dan jaminan kesehatan tidak akan bisa dipenuhi di tengah kemiskinan dan kebodohan kaum perempuan yang berperan sebagai isteri atau ibu dari anak-anak mereka.
Akhirnya, kesadaran jamak terhadap pentingnya pemberdayaan kaum perempuan, pada intinya, adalah mengawal eksistensi bangsa dan menyelamatkan generasi mendatang. Jelas sekali hal ini berimplikasi kepada wajah-wajah pemimpin bangsa kita di masa mendatang. Perempuan ataupun ibu yang bodoh dan miskin berisiko tinggi pada kenyamanan untuk menikmati hak-hak asasi mereka. Melek aksara bukanlah hal kecil. Dari sinilah awal peradaban sebuah bangsa. Jika kita masih membiarkan tingkat buta aksara yang terus meningkat, dipastikan bangsa ini akan ”tenggelam” dalam kebodohan dan kemiskinan di tengah kekuatan hegemoni global.☺ Semoga Bermanfaat